Gelombang Perlawanan Terhadap Rasisme di Tengah Pandemi Covid-19

https://www.coe.int/en/web/portal

Di tengah pandemi Covid-19, Amerika Serikat (AS) diguncang oleh gelombang demonstrasi besar-besaran yang menuntut keadilan atas kasus rasisme. Pemicu dari protes ini adalah kematian tragis George Floyd, seorang pria kulit hitam, yang tewas di tangan polisi kulit putih dalam sebuah insiden kekerasan yang terekam video dan menyebar luas. Aksi ini menjadi simbol perlawanan terhadap rasisme sistemik di AS.

Protes atas kematian George Floyd memicu solidaritas global, dengan demonstrasi yang muncul di negara-negara lain seperti Australia dan Inggris. Para demonstran di negara-negara tersebut memiliki tujuan serupa: mendesak pemerintah untuk menghukum pelaku rasisme, yang sering kali terjadi di tangan aparat keamanan.

Sejarah Kelam Rasisme di AS dan Australia

Sejarah mencatat bahwa rasisme di Amerika Serikat telah berlangsung lama dan terstruktur, dengan akar yang dalam. Salah satu bukti paling jelas dari hal ini adalah Aturan Jim Crow, serangkaian legislasi yang diberlakukan di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang secara legal memisahkan warga kulit putih dari kulit berwarna lainnya. Kebijakan ini menciptakan sistem segregasi yang memarjinalkan komunitas kulit hitam secara sistematis.

Beberapa insiden sebelum kematian George Floyd juga menunjukkan pola kekerasan rasial di AS. Pada tahun 2014, kasus Michael Brown di Ferguson, Missouri, mengguncang bangsa setelah ia ditembak mati oleh polisi. Kematian Freddie Gray di tahanan polisi Baltimore pada tahun 2015 memicu kemarahan dan kerusuhan serupa. Di tahun yang sama, video yang memperlihatkan polisi menembak seorang remaja kulit hitam di Chicago kembali memicu ketegangan rasial.

Rasisme juga mewarnai sejarah Australia, di mana kebijakan Asimilasi antara tahun 1910-1970 bertujuan untuk menghilangkan komunitas Aborigin melalui integrasi paksa ke dalam masyarakat kulit putih. Ribuan anak-anak Aborigin dipisahkan dari keluarga mereka, menciptakan apa yang dikenal sebagai Stolen Generation—sebuah kebijakan yang meninggalkan luka mendalam dan trauma antargenerasi dalam komunitas Aborigin hingga hari ini.

Pandemi Rasisme yang Mengancam Kemanusiaan

Serangkaian insiden ini, termasuk yang mungkin tidak terungkap di publik, menggarisbawahi bahwa rasisme adalah pandemi lain yang sudah lama ada dan terus berkembang. Para pengunjuk rasa menyebut rasisme sebagai pandemi yang bahkan lebih mematikan karena keganasannya dalam menghancurkan kemanusiaan. Seperti pandemi Covid-19, rasisme mengancam kehidupan komunitas minoritas dengan diskriminasi dan kekerasan yang melemahkan martabat manusia.

Perlawanan melalui demonstrasi di jalanan adalah respons yang wajar terhadap tindakan rasisme. Para pengunjuk rasa menyadari risiko kesehatan akibat Covid-19, tetapi mereka melihat ancaman terhadap kemanusiaan melalui rasisme jauh lebih mencekam dan mendesak. Bagi mereka, pelecehan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas atau pemerintah terhadap kelompok minoritas yang rentan telah berlangsung terlalu lama dan tidak pernah ditangani secara memadai.

Harus diakui pula, rasisme tidak hanya dilakukan oleh mayoritas terhadap minoritas. Tindakan kekerasan atau vandalisme yang dilakukan dengan alasan anti-rasisme bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk minoritas terhadap mayoritas. Namun, inti persoalannya bukan siapa pelakunya, melainkan bagaimana lambannya para pemimpin dunia dalam menangani isu ini.

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Untuk apa kita berjuang melawan pandemi Covid-19 dan menyelamatkan hidup, jika kita masih terus merongrong dan menghancurkan kemanusiaan dengan tindakan rasisme? Bukankah dasar dari semua perjuangan melawan Covid-19 adalah kemanusiaan itu sendiri?

Perang Melawan ‘Virus’ Rasisme

Demonstrasi besar-besaran yang menolak rasisme di AS dan negara-negara lain seharusnya menjadi panggilan untuk bertindak bagi pemerintah di seluruh dunia. Rasisme adalah ‘virus’ yang sama mematikannya dengan virus penyakit, dan harus diberantas. Data empiris menunjukkan bahwa kasus rasisme selalu menjadi sumber perpecahan dan penghancuran peradaban. Sejarah juga membuktikan bahwa rasisme bertentangan dengan realitas keberagaman yang seharusnya dirayakan, bukan dimusuhi.

Rasisme sudah lama mengakar dalam sejarah manusia, tetapi pertanyaannya tetap: Mengapa ‘virus rasisme’ ini, yang diciptakan oleh manusia berakal, belum bisa dihapuskan? Jika kita mampu menemukan obat atau vaksin untuk Covid-19, seharusnya kita juga mampu menemukan cara untuk mengakhiri pandemi rasisme.

Oase di Tengah Paradoks Rasisme

Sejarah manusia sering kali dipenuhi oleh paradoks. Di satu sisi, kita terus mempromosikan kesetaraan, penghargaan terhadap keberagaman, dan demokrasi anti-rasisme. Di sisi lain, kasus rasisme terus terjadi, bahkan dilakukan oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindung, seperti aparat keamanan. Ironisnya, di saat dunia gencar memerangi Covid-19, pemimpin dunia tampak abai dalam menghadapi rasisme yang nyata di depan mata.

Jika kita dapat menemukan solusi untuk menghentikan pandemi global, kita juga harus mampu mengatasi pandemi rasisme. Memang, rasisme adalah masalah yang kompleks, dengan akar yang mencakup ekonomi, ketimpangan sosial, dan pendidikan. Tetapi, seperti yang diingatkan oleh Paus Fransiskus dalam responsnya terhadap kematian George Floyd, "Kita tidak bisa mentolerir atau menutup mata terhadap rasisme dan pengucilan dalam bentuk apa pun."

Seorang gadis muda yang berpartisipasi dalam gerakan Black Lives Matter di Amerika bermimpi bahwa kekerasan rasial ini akan segera berakhir. Ia menaruh harapannya pada pemimpin dunia dan semua orang untuk mewujudkan dunia yang lebih adil. Harapan ini seharusnya menjadi harapan kita semua.

Penutup: Membangun Dunia Tanpa Rasisme

Kasus rasisme, dalam bentuk apa pun, tidak boleh lagi terjadi dalam peradaban manusia. Kita mendambakan dunia yang jauh dari ketegangan rasial. Tugas kita sebagai sesama manusia adalah menjadi promotor anti-rasisme, dan kita harus menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan hidup yang bebas dari prasangka dan diskriminasi rasial. Panggilan kemanusiaan kita adalah untuk terus memperjuangkan dunia yang lebih adil dan setara bagi semua.

Comments

Post a Comment

ARTIKEL TERPOPULER

AKU MENCINTAIMU NAMUN AKU BERSALAH (6)

"Video Kontroversial: Pelecehan atau Simbol Toleransi?"

Arnold Janssen’s Intercultural Narration