The Eyes of Darkness: Sebuah Review (Bagian 1)

Dean Koontz, seorang penulis asal Amerika, pertama kali memperkenalkan The Eyes of Darkness kepada dunia pada tahun 1981. Dengan tambahan epilog dari penulis, edisi kedua novel ini diterbitkan pada tahun 1989. Terdiri dari empat puluh bab, novel ini bergenre thriller dan baru-baru ini kembali ramai diperbincangkan karena diklaim meramalkan pandemi COVID-19. Sebagai salah satu buku Best Seller New York Times, popularitas novel ini melonjak karena dugaan kemampuan peramalannya.

Klaim-klaim tersebut muncul dari bagian kecil namun signifikan dalam novel, di mana Koontz memperkenalkan virus mematikan bernama "WUHAN-400" (Bab 39). Menurut plotnya, virus ini berasal dari kebocoran di sebuah laboratorium senjata biologi dan kimia yang terletak di pegunungan Amerika. Virus ini secara tidak sengaja ditularkan ke seorang peneliti asal Tiongkok, Li Chen, yang kemudian menyebarkannya kepada orang lain (hal. 183). Meskipun kode virus dalam novel berbeda dengan COVID-19, kemiripan nama WUHAN, baik dalam novel maupun sebagai episentrum pertama pandemi nyata, mengundang rasa ingin tahu. Apakah ini kebetulan belaka? Siapa yang tahu?

Terlepas dari “kontroversi” seputar ramalannya, novel ini mengundang pembaca untuk memulai petualangan mental, memperluas cakrawala imajinasi mereka. Koontz dengan cerdas menggabungkan tema-tema kehidupan dan kematian, kehilangan dan pertemuan kembali, persatuan dan perpisahan, kerinduan dan kebencian. Ia menjelajahi berbagai arena—dari perjudian, musik, dan pertunjukan hingga konspirasi mafia, operasi intelijen, pembunuhan, pengorbanan, telekinesis, romansa, dan cinta tanpa batas. Semua ini tersaji dalam narasi yang kompleks, kadang menyeramkan, namun tetap masuk akal dan menyenangkan untuk dibaca.

Ulasan ini tidak bermaksud untuk menyelaraskan isi novel dengan pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung. Sebaliknya, ulasan ini bertujuan untuk menyoroti beberapa tema yang, menurut perspektif penulis, mungkin memiliki nuansa epistemologis, pedagogis, dan humanis. Barangkali inilah benang merah yang ingin ditenun oleh Koontz ke dalam kesadaran pembacanya.

Kehilangan: Inti dari Kemanusiaan Kita

Novel ini dibuka dengan kisah tentang kematian—tentang kehilangan. Namun, perlu dicatat bahwa kisah ini mengalami metamorfosis pada akhir novel. Tema kehilangan meresapi bab-bab awal, di mana penulis menggambarkan dengan mendalam pergolakan batin Tina Evans, seorang ibu yang berjuang menghadapi kematian putra tunggalnya, Danny (Bab 1-8). Dikisahkan bahwa Danny, bersama teman-temannya, meninggal dalam kecelakaan bus saat kemping pramuka.

Sebagai seorang ibu, Tina sepenuhnya sadar bahwa hidup manusia akan selalu berakhir dengan kematian, entah bagaimana pun cara datangnya. Namun, ada sesuatu yang janggal tentang kematian Danny. Sumber keraguannya terletak pada kenyataan bahwa dia tidak pernah melihat jasad putranya. Yang dilihatnya hanyalah peti mati tertutup—sebuah objek misteri yang menyimpan sisa-sisa tak bernyawa dari orang yang dicintainya.

Kesedihan Tina berubah menjadi penjara baginya, seluruh keberadaannya dikonsumsi oleh kerinduan pada putranya. Tidak ada satu detik pun berlalu tanpa pikirannya kembali pada Danny. Meski tubuh putranya kini terbaring di dalam tanah, Danny tetap menjadi anak kesayangannya. Di lubuk hatinya, dia yakin Danny masih hidup, entah di mana, menunggunya untuk ditemukan. Dia bermimpi tentang hari ketika mereka bisa berjumpa kembali.

Kerinduannya bukan sekadar khayalan, melainkan kekuatan nyata yang bahkan merasuk ke dalam mimpinya. Suatu malam, saat terlelap, dia menemukan dirinya berdiri di tepi jurang yang luas dan tak berdasar, berhadapan dengan Danny di sisi seberangnya. Suara Danny memanggilnya.

Danny sendirian, ketakutan, dan sangat ingin mencapainya. Langit semakin gelap, dan awan badai berkumpul di atas kepala seperti tinju yang siap menghancurkan cahaya terakhir siang hari. Teriakan mereka semakin keras dan putus asa, karena mereka tahu harus bertemu sebelum malam tiba, atau akan hilang untuk selamanya.

Namun, meskipun Tina sangat ingin, dia tidak bisa mendekati putranya. Sesuatu yang tak terlihat menahannya. Dia terbangun, kecewa dan patah hati. Apakah mimpi ini pertanda? Apakah Danny benar-benar sudah pergi untuk selamanya?

“Tidak!” teriaknya menentang, menolak gagasan itu.

Danny pasti masih hidup. Namun, seiring badai dalam mimpinya semakin mengganas, guntur menggetarkan langit, dan malam turun menjadi kegelapan yang lebih dalam—kegelapan yang tak terbatas.

Hari-hari Tina dilalui dengan kesedihan dan kesendirian. Kesedihannya semakin mendalam saat dia menghadapinya sendirian, ditinggalkan oleh Michael, mantan suaminya, yang telah pergi jauh sebelum kematian Danny.

Bagi Tina, kehilangan putranya bagaikan terjatuh, hanya untuk ditimpa lagi oleh sesuatu yang lebih berat. Bertahun-tahun sebelumnya, dia sudah menanggung penderitaan karena kehilangan Michael, pria yang telah hidup bersamanya selama dua belas tahun. Dalam pikirannya, beban kesedihannya mungkin lebih ringan jika Michael masih bersamanya. Namun, hidup jarang bersikap baik, dan ketidakhadiran Michael hanya memperdalam penderitaannya.

Ini adalah kisah tentang kehilangan yang tragis, jenis kehilangan yang tidak pernah bisa berubah menjadi "memiliki" lagi. Ini adalah kehilangan seorang anak yang tidak akan kembali, kehilangan orang-orang terkasih yang kepergiannya terasa tak terbayangkan. Sebuah kehilangan yang kekal, abadi.

Pengalaman Tina adalah cerminan dari pengalaman kita sendiri. Kita semua, di berbagai waktu, telah menghadapi kehilangan—dalam bentuk yang berbeda-beda, mungkin—tetapi kehilangan tetaplah kehilangan. Di saat-saat seperti itu, kita berada di persimpangan: kita mengenang mereka yang kita cintai dengan mendalam, namun kita enggan untuk melepaskannya.

Tina bukan satu-satunya manusia yang mengalami kehilangan. Novel ini setidaknya mengingatkan kita semua—sebagai penghuni semesta yang luas ini—akan kebenaran universal yang tak terbantahkan: kehilangan adalah bagian dari kemanusiaan kita. Kehidupan, pada akhirnya, selalu menuju kepada kehilangan. Kita diingatkan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali kehilangan itu sendiri. Oleh karena itu, kehilangan menjadi bagian yang tak terelakkan dalam perjalanan hidup kita, sebuah pergulatan yang teranyam dalam jalinan eksistensi kita.

(Bagian 1 dari Review The Eyes of Darkness - Bersambung...)

Comments

ARTIKEL TERPOPULER

AKU MENCINTAIMU NAMUN AKU BERSALAH (6)

"Video Kontroversial: Pelecehan atau Simbol Toleransi?"

Arnold Janssen’s Intercultural Narration