THE EYES OF DARKNESS: SEBUAH REVIEW (5)

Catatan Akhir-Membongkar Tabir-Tabir Kegelapan

Tema-tema edukatif yang diusung The Eyes of Darkness, (Tabir Kegelapan), yang sebagiannya sudah diurai di atas, adalah tema-tema yang relevan dan aplikatif bagi masyarakat dewasa ini.
Alam semesta, tempat kita semua mengadu nasib, terus saja berduka meratapi anak-anak manusia. Seorang anak merasa kehilangan soso
k ibu yang lembut hati dan bersahaja yang sangat dicintainya. 
Nyawa manusia adalah kebenaran absolut yang harus selalu dijaga oleh setiap insan termasuk penguasa. Haram hukumnya jika nyawa manusia diperdagangkan demi kepentingan pragmatisme sesaat dan keserakahan penguasa.

Seorang Ibu tua bergumul atas kepergiaan anak gadisnya. Seorang suami berduka karena ditinggal pergi istri yang baru dinikahinya, dan masih banyak lagi.

Harus pula jujur untuk diakui bahwa salah satu fenomena yang terus menggerogoti kehidupan manusia saat ini adalah terkikisnya, untuk tidak dibilang tidak sama sekali, aksi cinta terhadap sesama. 

Novel ini menggaungkan kembali nilai universalitas kemanusian kita bahwa saling mencintai, bukan cinta romansa semata, bukan sebuah pilihan, melainkan panggilan kemanusian kita.

Kebenaran acap kali dimanipulasi oleh kelompok yang lebih ‘kuat’ atau ‘penguasa’ terhadap kelompok yang lemah. The Eyes of Darkness melawan pelbagai bentuk pemerkosaan dan pembangkangan atas nilai-nilai kebenaran. Ia ingin membongkar tabir-tabir kegelapan di dalam kehidupan manusia.

Nyawa manusia adalah kebenaran absolut yang harus selalu dijaga oleh setiap insan termasuk penguasa. Haram hukumnya jika nyawa manusia diperdagangkan demi kepentingan pragmatisme sesaat dan keserakahan penguasa. Ketika praktek semacam ini masih menyelimuti kehidupan, mari kita bongkar segala tabir-tabir kegelapan tersebut. Itulah barangkali pesan moral yang ingin disampaikan  The Eyes of Darkness, (Tabir Kegelapan)

Tamat

***********************

Comments

ARTIKEL TERPOPULER

AKU MENCINTAIMU NAMUN AKU BERSALAH (6)

"Video Kontroversial: Pelecehan atau Simbol Toleransi?"

Arnold Janssen’s Intercultural Narration