AKU MENCINTAIMU NAMUN AKU BERSALAH (2)

Cinta dalam Prahara ‘Kepenjaraan’

Ini adalah kisah cinta 'romantis' versi Lois dan Michael. Lois, wanita berparas cantik bak malaikat, sejak kecil terobsesi menemukan kekasih yang bukan hanya tampan dan gagah, tetapi juga mencintainya seumur hidup. 

Michael, pemuda tampan dan karismatik, kebetulan bertemu Lois di alun-alun kota tua tempat mereka tinggal. Tanpa keraguan sedikit pun, Lois menganggap Michael adalah jawaban dari semua mimpi dan obsesinya sejak masa kecil.

Sikap Michael yang ramah, tersenyum manis, dan genit, ciri khas pemuda Zaman Now, membuat Lois jatuh hati tanpa ragu. Tanpa banyak berpikir tentang realitas kehidupan pernikahan, mereka sepakat memulai petualangan cinta dari pelaminan.

Namun, hari-hari pernikahan yang diimpikan penuh romansa justru diwarnai dengan penyesalan dan depresi. Romantisme yang dulu menjadi impian mereka berubah menjadi sekadar teori yang tak pernah terwujud dalam kenyataan. Lois, yang masih terobsesi dengan keyakinan bahwa Michael adalah cinta sejatinya, menghadapi kenyataan pahit: pernikahan mereka hanyalah sebuah rutinitas yang membosankan dan penuh kekosongan. Hidupnya terasa hampa, seperti perahu yang terombang-ambing di tengah lautan tanpa arah.

Michael, sejak hari pertama pernikahan, menunjukkan sikap acuh tak acuh yang tak pernah berubah. Bahkan, sikapnya yang semakin tidak peduli dan sembrono menegaskan satu hal: Michael tidak pernah mencintai Lois.

Meski demikian, dengan naluri kewanitaannya, Lois mencoba bertahan. Ia tidak ingin rumah tangganya hancur hanya karena Michael tidak pernah membalas cintanya, meski setiap hari itu menyakitkan. Dalam kesabaran yang tak habis-habis, Lois tetap setia menjalankan perannya sebagai istri. Ia memasak, mencuci, dan mengurus rumah tangga, meskipun Michael tidak pernah menunjukkan tanda-tanda penghargaan.

Bagi Lois, Michael tetap suaminya, meski mereka tidak pernah sekalipun berhubungan badan sejak hari pertama pernikahan mereka. Di sisi lain, Michael selalu menikmati masakan Lois dengan antusias, meskipun hatinya tetap dingin dan jauh. Segala sesuatu terkait urusan kantor yang disiapkan Lois dianggap Michael sebagai hal yang lumrah, tanpa rasa terima kasih.

Selama tujuh tahun, mereka hidup bersama sebagai suami istri, namun tak pernah berbagi ranjang. Tujuh tahun pula Lois tak pernah merasakan hangatnya cinta dari seorang suami. Ia terus penasaran, berharap mendapatkan cinta dari Michael, meskipun hanya pelukan atau sentuhan tangan. Namun, Michael selalu menolak setiap upaya Lois, yang penuh dengan keromantisan dan daya tarik, untuk mendekatinya. Pertengkaran dan debat tak terhindarkan, menghiasi hari-hari mereka yang penuh ketegangan.

Dalam ketidakberdayaan dan kehabisan akal, Lois mulai bertanya pada dirinya sendiri, "Apa gunanya hidup sebagai suami istri jika tidak ada cinta? Bukankah cinta yang menjadi alasan utama menyatukan pria dan wanita dalam ikatan pernikahan?"

Keletihan dan frustrasi semakin mendalam ketika Lois mencoba membenarkan situasi yang kian kacau. "Apakah hidup suami istri memang bisa tanpa cinta?" tanyanya dalam hati. Ia bahkan mulai menyalahkan dirinya sendiri, "Apakah salah jika aku percaya bahwa cinta adalah dasar dari pernikahan?"

Pertanyaan demi pertanyaan terus mengusik pikirannya, sementara energi dan kesabarannya semakin terkuras. Meski begitu, Lois berusaha berdamai dengan perasaannya, mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk menenangkan hatinya.

Sementara itu, Michael tidak pernah sedikit pun mencintai Lois, bahkan tak pernah berpikir untuk mencintainya. Baginya, hidup bersama Lois selama tujuh tahun terasa seperti hidup dalam penjara. Michael menganggap apartemen mereka sebagai "penjara bawah tanah," tempat kebebasannya sebagai manusia seolah dirampas oleh istri yang tidak pernah dicintainya. Dia merindukan kebebasan, ingin segera lepas dari belenggu pernikahan dan menghirup udara segar.

(Bersambung)....

Comments

ARTIKEL TERPOPULER

AKU MENCINTAIMU NAMUN AKU BERSALAH (6)

"Video Kontroversial: Pelecehan atau Simbol Toleransi?"

Arnold Janssen’s Intercultural Narration