"Video Kontroversial: Pelecehan atau Simbol Toleransi?"

Biarawati sedang Mendendangkan Simponi Lebaran di Gereja (https://www.instagram.com/ganjar)


Seorang sahabat seiman mengungkapkan kekesalannya kepada saya terkait video viral yang ramai diperbincangkan belakangan ini. Video tersebut menampilkan tiga biarawati Katolik yang menyanyikan lagu Lebaran di dalam gereja, tepat di depan Altar dan Tabernakel. Dengan nada sinis, ia mempertanyakan tindakan para suster itu, bahkan menyimpulkan bahwa Gereja Katolik sedang diguncang oleh "tsunami pelecehan," bukan dari orang luar, tetapi justru oleh mereka yang berada di dalam gereja.

Sahabat saya bertanya: Mengapa para suster itu menyanyikan lagu dari ritus agama lain di dalam gereja yang sakral? Bukankah tindakan semacam itu melecehkan kesucian gereja? Mengapa mereka tidak bernyanyi di luar gereja? Deretan pertanyaan ini mencerminkan kekesalannya, menganggap video berdurasi dua menit sembilan detik tersebut sebagai bentuk ketidakpantasan yang meresahkan imannya.

Pelecehan atau Kurangnya Respek?

Isu ini cukup sensitif dan perlu diulas dengan hati-hati. Sebelum kita masuk lebih jauh, mari kita telaah dulu apa sebenarnya yang dimaksud dengan pelecehan. Berdasarkan definisi umum, pelecehan adalah tindakan yang disengaja untuk menyerang, mengancam, atau mengintimidasi target. Dengan demikian, tindakan tersebut harus memenuhi unsur penyerangan dan pengancaman terhadap suatu kelompok atau individu.

Dalam kasus video para suster yang menyanyikan lagu Lebaran di depan Altar, apakah kita dapat menyimpulkan bahwa ada unsur penyerangan? Siapa yang mereka serang? Apakah umat Katolik diserang melalui tindakan ini? Apakah iman mereka terhadap kesucian Altar dan Tabernakel terancam oleh nyanyian itu? Jika tidak ada niat untuk menyerang atau mengancam, maka kita perlu mempertanyakan apakah tindakan ini benar-benar layak disebut pelecehan.

Pertanyaan selanjutnya, apakah umat Katolik merasa diintimidasi oleh video tersebut? Apakah iman mereka goyah hanya karena melihat nyanyian yang diadakan di ruang sakral? Jika jawabannya "tidak," maka mungkin video ini lebih mencerminkan kurangnya penghargaan terhadap ruang suci daripada pelecehan yang disengaja.

Sahabat saya mungkin merasa bahwa tindakan para suster tersebut mengganggu sakralitas gereja sebagai tempat berdoa. Ia merasa bahwa kehadiran Altar dan Tabernakel seharusnya diperlakukan dengan lebih hormat. Dalam pandangannya, menyanyikan lagu dari ritus agama lain di dalam gereja adalah pelanggaran terhadap rasa hormat itu. Mungkin, bagi sahabat saya, nyanyian di luar gereja akan lebih bijaksana dan menghindari kesalahpahaman serta perdebatan publik.

Simfoni Toleransi: Sebuah Perspektif Lain

Masih teringat dengan jelas kata-kata Gus Dur, tokoh besar toleransi di Indonesia: "Tuhan tidak perlu dibela." Yang perlu kita bela adalah kemanusiaan dan hak-hak mereka yang tertindas. Pernyataan ini menyerukan perlunya mengakhiri ekstremisme yang mengatasnamakan agama dan, sebaliknya, mengedepankan toleransi dan dialog antaragama.

Paus Fransiskus pun menekankan hal serupa. Dalam kunjungannya ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, ia menandatangani dokumen berjudul "Persaudaraan untuk Perdamaian Dunia dan Kehidupan Bersama" bersama Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Ahmed al-Tayeb. Dokumen ini menegaskan pentingnya kebebasan beragama, penghormatan terhadap tempat ibadah, serta komitmen untuk melindungi minoritas.

Mungkinkah tindakan para suster ini merupakan wujud dari pesan toleransi yang digaungkan oleh Gus Dur dan Paus Fransiskus? Apakah nyanyian Lebaran itu sebenarnya adalah simbol persaudaraan dan penghormatan antaragama?

Toleransi dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk, mulai dari ucapan selamat hingga melantunkan lagu yang merepresentasikan kebersamaan. Jika dilihat dari perspektif ini, mungkin tindakan para suster adalah bentuk dari simfoni toleransi—suatu ekspresi iman yang merangkul sesama, meskipun mereka berbeda agama.

Kesimpulan: Melampaui Persepsi Negatif

Iman yang dibangun di atas dasar yang kokoh tidak mudah hancur hanya karena melihat sebuah video yang tidak sesuai dengan ekspektasi. Tindakan para suster, meski mungkin menimbulkan ketidaknyamanan bagi beberapa orang, tidak serta-merta meruntuhkan keyakinan yang sudah dibangun bertahun-tahun. Jika kita bisa melihat tindakan ini sebagai bagian dari upaya menciptakan dialog dan persaudaraan antaragama, maka kita akan menemukan nilai positif di balik video tersebut.

Video itu mungkin mengusik sebagian umat, tetapi mari kita ambil aspek positifnya. Nyanyian itu adalah ungkapan selamat kepada sesama saudara yang merayakan hari raya mereka. Kemenangan iman mereka adalah kemenangan kita juga. Pada akhirnya, tindakan para suster ini bisa dilihat sebagai cara untuk mendendangkan simfoni toleransi, menyuarakan bahwa, apapun agama kita, kita tetap satu dalam kemanusiaan.


Iman, apapun agamanya, tidak hanya memiliki dimensi metafisis yang menghubungkan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mencakup dimensi antropologis dan sosiologis, yang mengikat kita dengan sesama. Ajaran-ajaran suci agama seharusnya diwujudkan dalam praktik hidup sehari-hari. Mengasihi dan mencintai sesama, tanpa memandang latar belakang suku maupun agama, adalah manifestasi tertinggi dari nilai-nilai keagamaan.

Comments

  1. Sangat setuju dgn analysis nya Tuang Kasmir. Mantap Tuang.

    ReplyDelete
  2. Thank you Father... Ulasan yang menarik. in this time of trials, justru sapaan menjadi sangat berarti baik yang disapa dan terutama yang menyapa. Ada sukacita bahwa ada yg peduli terhadap satu sama lain. Stay safe and remain healthy Father. God bless

    ReplyDelete
  3. Terima kasih atas komentarnya. Mari tingkatkan semangat saling menghargai, toleransi yang tulus tanpa mengorbankan nilai2 religiositas kepercayaan kita masing2. Tuhan berkati.

    ReplyDelete
  4. Mantap Pastor..Terima Kasih ulasanya.Bahwasannya iman itu, apapun agamanya, bukan hanya memiliki aspek metafisis (berhubungan dengan Tuhan) tetapi antropologis dan sosiologis (berhubungan dengan sesama dan orang lain). Ajaran-ajaran suci keagamaan harus diejawantahkan dalam praktek hidup harian. Mengasihi dan mencintai sesama tanpa memandang latar belakang suku dan agama adalah wujud tertinggi dari nilai keagamaan.

    ReplyDelete
  5. luar bisa penjelasannya pater

    ReplyDelete
  6. luar bisa penjelasannya pater

    ReplyDelete
  7. Terima ksh atas saanjungannya. Mencintai semua org tanpa sekat batas identitas keagamaan adalah panggilan universal kemanusian kita. Kita semua dilahirkan sebagai manusia. Humanisme, yg berhubungan dgn bagaimana kita bergaul, saling mengasihi, dan menolong yg susah, adalah hal yg paling urgen dijalankan setiap insan. Memeluk agama tertentu adalah pilihan. Keagamaan adalah identitas tambahan yg seharusnya membuat kita lebih beradab dan humanis, bukan sebaliknya.

    ReplyDelete
  8. judulnya cukup menimbulkan perdebatan, tapi isinya sangat baik semoga semua umat bersedia membaca sampai habis sebelum share/ komen

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebagaimana kamu tahu setelah membaca ulasan itu bhw judul itu adalah kata2 dr sahabat saya yg mengeluh tentang Video. Penjelasan selanjutnya berdasarkan 'rentetan2 kegelisahan2' dr sahabat tadi. Kedua, ada trik dlm dunia journalisme bhw judul hrs 'memancing' pembaca tuk membaca apa yg ada di dalamnya. Mudah2an judul yg ada itu tdk mengecohkan apalgi sampai marah setelah membaca ulasan ini.

      Delete
  9. HUMANISME DAN TOLERANSI KADANG MENGHINA HAKIKAT IMAN. JELAS, SAUDARA KITA YANG MERAYAKAN LEBARAN MENOLAK YESUS SEBAGAI TUHAN. LALU ATAS NAMA TOLERANSI, KITA DENGAN MUDAH MENGATAKAN SAH-SAH SAJA.
    DARI LOKUS SUDAH SALAH. HAKIKAT TOLERANSI BUKAN DENGAN MEMBERI SALAM, MENYANYI DI SEGALA TEMPAT UNTUK MENGANGKAT CITRA DIRI. TOLORANSI ADALAH MEMBIARKAN AGAMA ORANG LAIN BERTUMBUH PADA TEMPATNYA TANPA HARUS DIUSIK. BUKAN DENGAN MENCARI NAMA SUPYA DIKENAL SOK TOLERANSI.

    SALVETE

    ReplyDelete
    Replies

    1. Bro Jondry, Terima kasih sudah berkenan mengunjungi blog ini dan memberikan komentar atas artikel sederhana ini.

      Terus terang saja, sejujurnya saya tidak mau masuk dalam ranah perdebatan doktrinal, misalnya, bahwa ‘mereka yang merayakan lebaran menolak Yesus sebagai Tuhan’. Bagi saya, sederhana saja, itu urusan mereka. Toh, kita tidak terpengaruhi sama sekali dengan ajaran itu. Yang kita imani Yesus adalah yang tertulis di dalam Kitab Suci kita dan diajarkan oleh doktrin-doktrin kekatolikan yang sah dalam gereja. Dengan kata lain, Ketidakpercayaan mereka akan ketuhanan Yesus seharusnya tidak mempengaruhi iman kita atau cara pandang kita.

      Kalau dibaca secara teliti dalam tulisan di atas, saya mengatakan bahwa “Berdendang ria di depan atau di luar gereja barangkali pilihan yang bijaksana dalam konteks seperti ini. Langkah semacam itu dapat menghindari tafsiran-tafsiran liar serta perdebatan publik yang menjalar ke mana-mana dan pada saat yang sama pesan lagu tetap tersampaikan.” Artinya, para penyanyi itu sebenarnya bisa menyanyi di luar gereja, untuk menghargai sakralitas gereja sebagai rumah Tuhan.

      Soal menyanyi, apakah itu bagian dr toleransi? Pemahaman saya, dalam konteks keindonesiaan dan momentum mereka menyanyi, konten lagu yang dinyanyikan itu adalah ekspresi terindah dari sebuah toleransi. Membiarkan umat agama lain menjalankan peribadatan mereka adalah tahap toleransi yang paling lumrah atau fase toleransi awal. Lebih baik lagi, pada hemat saya, kalau memberikan salam selamat kepada pemeluk lain pada hari raya. Hemat saya itu tahap yg lebih advance dari toleransi, karena sudah masuk pada tataran aksi, bukan hanya kata abstrak.

      Sekian saja bro….

      Delete
  10. TITIK TOLAK MASALAHNYA adalah PENGETAHUAN, PEMAHAMAN DAN PENGHAYATAN:

    (1) Jika aturan-aturan dan norma-norma Gereja Katolik dipahami dan dihayati sebagai ATURAN DAN NORMA RESMI Gereja Katolik di mana kita menjadi anggotanya, maka kita seharusnya mencari tahu dan melakukan mana yg menjadi jiwa dan rambu-rambu normatifnya.

    (2) Jika aturan-aturan dan norma-norma Gereja Katolik dipahami dan dihayati sekedar aturan-aturan yang bisa diubah-ubah (dikurangi-ditambahkan) sebagai aturan dan norma yang harus diciptakan untuk menampung selera dan aspirasi pribadi maupun komunal, maka terciptalah kreativitas individual ataupun komunal tanpa mengindahkan lagi apa yang menjadi harapan, jiwa dari Gereja Katolik.

    "Jika kita terbuka untuk Yang Suci, itu akan mencengkeram kita ketika kita mendekati gereja, atau bahkan ketika kita melihat kubah atau menara dari jauh. Setelah masuk, arsitektur akan membawa mata kita dan kemudian hati kita menuju Tuhan, menuju surga." ~ #Gedung_Gereja_sebagai_Tempat_Suci: Keindahan, Transendensi, dan Kekal https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2212557639026978&id=1819197068363039

    Gedung Gereja itu Monofungsi bukan Multifungsi. Gedung gereja itu monofungsi, tempat untuk merayakan sakramen-sakramen dan berdoa, "tempat yang diperuntukkan bagi ibadat ilahi, tempat yang dikhususkan bagi pertemuan dengan Tuhan.'' Kecuali dalam keadaan darurat, gereja dapat dipakai sebagai tempat pengungsian dan sebagainya. Gedung Gereja bukan multifungsi dimana berbagai kegiatan boleh dilaksanakan di sana, meskipun dengan niat baik sekalipun. (lih. Rev John Rusae, Sekretaris Komisi Liturgi KWI, Majalah Liturgi Vol. 29 - No 2).

    Referensi:
    ¤ KHK 1210; 1214
    ¤ Redemptionis Sacramentum
    ¤ SC 16-19

    "Kita harus menemukan makna kesakralan. Keberanian untuk membedakan apa yang Kristiani dan apa yang bukan." ~ Paus Emeritus Benediktus XVI

    Apakah toleransi itu??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini dan memberikan komentar artikel di atas.
      Saya tidak mempersoalkan fungsi liturgis gereja sebagai tempat berdoa dan merayakan sakramen2. Ada banyak sekali kanon yang berbicara tentang fungsi tersebut (Bdk Kan 1210-1230). Fungsi itu in se. Kita tidak punya cukup waktu untuk membedah dan menguraikan kanon-kanon tersebut. Ketika kuliah, saya harus mengambil dua mata kuliah khusus untuk Hukum Kanonik. Intinya, kanon 2010 yang saudara kutip tidak monofungsi. Bagian kedua dari kanon ini jelas memberikan otoritas kepada pemimpin gereja lokal untuk mengizinkan kegiatan-kegiatan lain dilaksanakan di dalam gereja sejauh tidak berseberangan dengan kesucian. Kanon ini dan juga msh ada kanon2 lain, tidak melarang gereja dipakai untuk urusan lain. Urusan lain itu bisa saja urusan kemanusian sebagaimana terjadi di tempat lain. Banyak sekali gedung gereja dipakai untuk kegiatan kemanusian. Bahkan baru-baru ini Paus Fransiskus memerintahkan agar gereja siap menjadi “Rumah Sakit sementara’ menampung logistik keperluan korban kovid 19 ataupun tempat tinggal sementara bagi para korban covid 19. Lalu apakah Paus Fransiskus menghancurkan atau mengabaikan fungsi kesucian gereja ketika ia memerintahkan hal ini? Gereja-gereja di Filipina dipakai untuk aksi kemanusiaan selama kovid 19 ini. Saya yakin kesucian gereja itu tidak dihilangkan karena aksi-aksi kemanusian tersebut. Toh, kesucian itu berada di hati seseorang beriman, sebagai ‘gereja’ yang sesungguhnya.

      Apa sih tujuan beragama itu? Menciptakan permusuhan? Bukankah agama itu adalah sarana, bukan tujuan, disamping untuk mencapai keselamatan kekal bagi agama monoteisme tetapi juga agar setiap pemeluknya menjadi lebih humanis, menciptakan perdamaian, saling menghargai antar pemeluk agama? Ketika para suster2 menyanyikan lagu lebaran di dalam gereja, begitu banyak sama saudara/i yang merayakan hari lebaran mereka sangat senang dan apresiasi dengan tindakan keagamaan itu. Bukan kah itu kesaksian hidup yang patut diapresiasi? Mengapa kita berpikir kerdil bahwa tindakan tersebut justru dianggap melanggar aturan atau norma gereja?

      Masih ingatkah kita, kisah menarik B J. Habibie dalam bukunya dimana ia menggunakan gereja untuk berdoa menurut agamanya. “Di sana (Jerman), tidak ada masjid ataupun mushola karena mayoritas warga di sana beragama Katolik. Sehingga sangat sulit bagi saya menemukan tempat beribadah dan mengadu kepada Tuhan,” “Saya akhirnya ke gereja lalu saya berkata, ‘Ya Allah, Tuhan Yang Maha Esa, gedung ini dibuat oleh manusia yang mencintai-Mu dan saya juga mencintai-Mu. Perkenankan saya untuk masuk dan berdoa dengan cara saya sendiri. Saya ingin berdoa untuk keluarga dan bangsa saya yang saya tinggalkan di Indonesia,” kata Habibie.
      Kemudian, dia memutuskan masuk ke dalam gedung gereja itu dan memilih untuk berdiri di bangku barisan belakang gereja, dekat tempat pembakaran lilin. “Ada alunan musik gereja. Dan saya akhirnya menunaikan salat di gereja,” kenang dia. (https://katoliknews.com/2019/09/12/kisah-habibie/)

      Response publik (katolik) saat itu sangat positif.

      Sekian...

      Delete
  11. Penjelasan yang sangat jelas sekali. Kenapa mesti menjadi iman sedikit sedikit baper. Saya tidak melihat adanya pelecehan. Dan lagu lebaran itu bukan suatu ritus menurut saya. Hanya sebuah lagu ekspresi kegembiraan. Tidak ada yang salah kalau menurut saya. Dan tidak akan merubah apapun dalam keimanan. Tidak ada yang dilecehkan, dihina. Kalau tetangga sebelah selalu meributkan hal hal yang sepele dan kecil... Hendaknya kita umat Katolik janganlah ikut ikutan baperan. Menurut saya itu salah satu cara berbela rasa... Mohon maaf kalau ada perkataan atau pikiran saya yang tidak sejalan atau salah

    ReplyDelete
  12. Hanya dengan melihat gambar thumnail artikel, saya belum berani menulis pemahaman saya, maka saya mencoba mencari vieo youtubenya yang berjudul : Viral!!! Biarawati Nyanyi Lagu Idul Fitri (Selamat Lebaran) di channel Gani MT84.
    Jujur setelah melihat videonya, maka saya pun tersenyum,... dan menuliskan komentar sederhana di kolom komentar video tersebut. Dan ternyata para suster tersebut bernyanyi di kapel atau ruang adorasi. Bukan seperti kisah kawan sahabat seniman tadi yang menggiring opini seolah-olah dan seakan-akan itu,... ya sudut pandang setiap orang berbeda.
    Yang bisa saya sampaikan adalah : bravo dan salut buat ketiga suster, pesan moril yang ingin disampaikan tentu sangat jauh dari presdiksi dan pemahan si kawan sahabat seniman tadi.

    ReplyDelete

Post a Comment

ARTIKEL TERPOPULER

AKU MENCINTAIMU NAMUN AKU BERSALAH (6)

Arnold Janssen’s Intercultural Narration