Misa Virtual: Menambah Spiritualitias Pribadi Namun Miskin Solidaritas Sosial (Oleh Rm. Kasmir Nema, SVD dan Rm. RD Benny Denar) (2)

Pengaruh Misa Daring Terhadap Penguatan Solidaritas Kristiani

https://www.pinterest.ph/pin
D
engan perjamuan bersama dalam perayaan Ekaristi, aspek solidaritas dan kesatuan dipupuk. Melalui perjamuan tersebutumat semakin bersatu dengan Kristus, pemberi hidup, dan juga bersatu dengan sesama umat beriman yang hadir dalam perjamuan Ekaristi. Di sinilah aspek kesatuan dan solidaritas dari perayaan Ekaristi tercipta. Perayaan Ekaristi merupakan kenangan akan karya keselamatan Allah yang memuncak pada misteri Paskah (Martasudjita, 2003: 295).

Akulah roti hidup yang telah turun dari Surga. Jika seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan kuberikan untuk hidup dunia...sessungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darahNya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. (Yoh 6:51,53)
Berpijak pada karya historis dan redemptif ini, dalam perayaan Ekaristi, umat mengadakan korban persembahan, melalui kolekte dan sejenisnya, melambangkan penyerahan diri Yesus. Ekaristi sebagai korban merupakan perayaan pengungkapan iman, di samping mengenangkan korban Kristus di atas kayu salib demi cinta-Nya kepada umat manusia juga solidaritas manusia terhadap sesama yang menderita dan berkekurangan.

Di samping dimensi vertikal, Ekaristi berdimensi horizontal dimana aspek solidaritas dimanifestasi. Artinya perayaan itu menunjukkan dan memperkuat aspek persekutuan (koinonia) dari gereja. Selain itu perayaan itu juga menghadirkan spirit solidaritas. Jemaat yang merayakan ekaristi diharapkan untuk memperkuat dalam dirinya semangat untuk bermisi, yaitu bermisi untuk memperkuat persaudaraan, solidaritas dan kepekaan sosial. 

Aspek solidaritas, yang merupakan ejawantah misi gereja, adalah dimensi Eklesiologi dari Ekaristi. Tujuan hidup menggereja adalah untuk mewartakan Misi Kristus yang dipercayakan Allah padanya. (Bosch, Transforming Mission, 1991: 372). Pemahaman serupa diungkapkan secara lebih terperinci oleh Avery Dules dengan menyebut gereja sebagai sakramen, tanda dan sarana keselamatan (Dulles, Models of the Church, 1976:58-70).

Forms response chart. Question title: 9. Apakah misa daring memupuk solidaritas Anda dengan umat paroki yang lain?. Number of responses: 163 responses.
Grafik 8

Berkaitan dengan spirit solidaritas dari perayaan ekaristi, perayaan ekaristi virtual ternyata tak cukup menggugah umat untuk bersolider dengan sesama. Terdapat 70 orang responden (43,2 persen) mengatakan bahwa perayaan ekaristi virtual yang mereka ikuti memupuk semangat solidaritas dalam diri mereka (34 orang selalu; 36 orang sering). Di samping itu, 41 orang (25,3 persen) responden mengaku bahwa perayaan ekaristi daring hanya kadang-kadang membuat mereka termotivasi untuk mengembangkan semangat hidup penuh solidaritas. Sedangkan, 57 orang (31,4 persen) mengaku jarang atau tidak sama sekali melakukan aksi solidaritas setelah mengikuti perayaan ekaristi secara virtual. 

Kesan, Harapan Responden dan Kesimpulan

Peneliti menanyakan dua kuesioner terbuka di akhir dari riset ini yaitu berhubungan dengan kesan umat tentang misa daring secara umum dan harapan mereka untuk kelangsungan misa daring di Indonesia. Peneliti merangkum secara garis besar jawaban responden untuk kedua pernyataan tersebut sebagai berikut. 

Secara umum umat mempunyai kesan dan persepsi cukup positif tentang misa daring. Sebagian besar dari mereka mengapresiasi kehadiran misa daring karena tidak hanya menjawab kerinduan iman mereka untuk berjumpa dengan Tuhan, tetapi juga sangat membantu untuk menguatkan iman mereka dalam suasana pandemic Covid 19.

Terlepas dari kesan dan persepsi positif dari sebagian besar responden tentang misa daring, ada sebagian kecil dari antara mereka yang justru merasa aneh, sedih dan kurang puas. Bagi mereka, misa daring tidak bisa menggantikan misa secara langsung di gereja, karena mereka menganggap misa daring kurang sakral. 

Sementara itu, harapan para responden tentang kelangsungan misa daring di Indonesia dapat terangkum oleh pertanyaan terakhir yang diajukan dalam riset ini. Pertama, sebagian besar responden menunjukkan apresiasi atas upaya gereja mengadakan misa secara daring. Mereka mengakui bahwa misa daring telah menjawab kerinduan mereka untuk berjumpa dengan Tuhan. Namun demikian, mereka mengharapkan misa daring hanya dilakukan pada masa-masa sulit seperti saat pandemi. Alasannya, umat tidak dapat menyambut tubuh Kristus melalui misa daring.

Kedua, ada juga beberapa responden yang menganjurkan agar misa daring tetap dilaksanakan setelah pandemi berakhir. Mereka menilai bahwa misa daring baik diadakan untuk diperuntukan bagi umat lansia, sakit, dan berhalangan hadir ke gereja.

Ketiga, ada bingkisan khusus yang ditujukan kepada para gembala yang merayakan Ekaristi daring. Responden berharap agar imam yang memimpin Ekaristi menyiapkan homili dengan baik, agar dapat membantu mereka mendalami Sabda Tuhan. Selain itu, homili yang disampaikan juga diharapkan dapat memberi pesan-pesan meneduhkan di tengah situasi pandemi seperti saat ini.

Di samping harapan-harapan di atas, misa daring juga menemui beberapa tantangan bagi sebagian responden. Misalnya, gangguan koneksi internet dan kuota pulsa yang kurang memadai bila mereka mengikuti misa melalui media streaming yang mengandalkan koneksi internet. Persoalan teknis semacam ini mengganggu kekhusyukan umat dalam berdoa. 

Catatan Penulis

Riset ini menarik beberapa kesimpulan. Pertama, misa daring di Indonesia sebagaimana dilakukan selama umat dihimbau untuk tinggal di rumah saja dapat meningkatkan spiritualitas iman gereja. Kedua, para imam harus mempunyai kompetensi digital yang memadai. Tidaklah cukup seorang imam memiliki pengetahuan teologi dan pastoral yang konvensional. Bukan tidak mungkin, misi gereja ke depan lebih banyak berhubungan dengan dunia digital, seiring dengan evangelisasi tradisional yang telah dilakukan selama ini.

Konsep ‘Daring atau Online’ dalam frasa “Misa Daring’ diadopsi dari konsep sekuler, bukan konsep liturgis. Konsep misa daring itu sendiri belum didefinisikan secara resmi di dalam dokumen gereja. Beberapa pemimpin gereja lokal, misalnya para Uskup Amerika serikat, menerbitkan penuntun bagi imam dan umat dalam merayakan Ekaristi daring. Barangkali hal serupa harus dimiliki Gereja Indonesia ke depan.

Terlepas minimnya definisi misa daring di dalam dokumen gereja, misa daring tampaknya mendapat respon positif dari mayoritas umat di Indonesia. Hal itu tercermin dalam hasil riset ini. Para responden memiliki tingkat partisipasi yang cukup baik dan mengambil bagian secara aktif selama perayaan Ekaristi berlangsung. 

Meski dikategorikan sebagai perayaan liturgi ‘model baru’, misa daring ternyata dapat meningkatkan spiritualitas umat. Mereka merasakan kehadiran Kristus baik melalui Sabda yang diwartakan maupun melalui Tubuh Kristus (dengan mendoakan doa komuni batin) Riset sederhana ini menunjukkan bahwa lokus, yaitu tempat Ekaristi dirayakan secara fisik, bukan hal yang paling sentral bagi sebagian umat untuk merasakan kehadiran Tuhan. 

Meski misa daring mampu meningkatkan spiritualitas iman umat, ternyata hal tersebut tidak secara otomatis berdampak pada solidaritas sosial mereka. Paus Fransiskus menegaskan bahwa setiap orang Kristen harus memupuk semangat solidaritas, seperti misalnya melakukan perbuatan untuk menolong orang lain. Seperti digaungkan pada perayaan Paskah 2020, “bukan saatnya untuk tidak peduli, karena saat ini seluruh dunia sedang menderita dan perlu dipersatukan kembali. Ia bahkan menginginkan sikap-sikap seperti ketidakpedulian, egoisme, perpecahan, serta lupa terhadap sesama harus dilarang selama-lamanya. Paus Fransiskus menantang umat kristiani untuk mengaplikasikan nilai-nilai kristiani dalam tindakan karitatif.” (Vatican News, 25 Januari 2020).

Akhirnya, teriring doa dan ucapan terima kasih untuk semua responden (162 orang) yang secara sukarela mengisi kuesioner ini. Kami ingin menyampaikan bahwa riset ini tidak mengatasnamakan institusi gereja Katolik Indonesia. Kuesioner ini berangkat dari sebuah pergulatan akademis dan bidang teologi komunikasi yang diminati oleh penulis. Penulis berharap agar observasi, analisa dan kesimpulan yang disampaikan dalam laporan ini dapat membantu umat gereja Katolik untuk semakin mendalami makna dan aspek-aspek yang ada dalam perayaan Ekaristi di tengah budaya serba online seperti sekarang.

Comments

Post a Comment

ARTIKEL TERPOPULER

AKU MENCINTAIMU NAMUN AKU BERSALAH (6)

"Video Kontroversial: Pelecehan atau Simbol Toleransi?"

Arnold Janssen’s Intercultural Narration