LOIS YANG DEPRESI: PERSPEKTIF COUNSELING PSYCHOLOGY (Oleh Rm. Theo Amelwatin)

Pengantar
Tuisan ini adalah tanggapan dari salah satu pembaca setia novel "Aku Mencintaimu Namun Aku Bersalah, Romo Theo Amelwatin.  Beliau sedang mengambil Program Pasca Sarjana dalam bidang psikologi-Counseling di Universitas de La Salle, Manila, Philippines. Sebuah tanggapan kompherensif dari perspektif psikologi kaunseling atas kehidupan Michael dan Lois. Dengan senang hati saya mempresentasikan tanggapannya di blog ini. Selamat membaca.
************************

Pagi ini saya didatangi dua orang clients, masing-masing bernama Michael dan Lois; keduanya pasangan suami istri. Dari sisi penampilan, keduanya bukan orang sembarangan. Secara sosial mereka dari kalangan status ekonomi kelas atas. Status itu saya ketahui lewat formulir inform consent yang diisi oleh Lois sebelum kami memulai intake interview.

Lois-lah yang bercerita tentang kisah perjalanan bahtera rumah tangga mereka sejak awal terbentuk hingga saat ini. Client selalu meneteskan air mata ketika berkisah tentang berlayarnya biduk keluarga mereka di laut lepas yang seakan tak bertepi sejak tujuh tahun silam. Saya mengamati, Michael lebih banyak menundukkan kepala dan sibuk dengan khayalannya sendiri. Tidak ada reaksi dari dirinya entah untuk menegasi maupun mengafirmasi setiap tuturan Lois. Hanya sekali dia menatap saya dengan hampa, tanpa kata. Bahasa tubuhnya pun tak sejalan dengan cerita istrinya. Kesan awal saya saat melihat behavior-nya, “manusia ini tak hanya mati rasa sebagaimana kata istrinya, tapi juga mati bahasa tubuhnya”, gumam saya dalam hati. Ya, saya harus mengobservasi gesture dari client saya. Ini mutlak dilakukan oleh seorang counselor sebagai bagian dari proses mental status examination di sesi intake interview ini. Michael sungguh-sungguh hadir bagai hantu di dalam ruangan konseling ini.

Seusai mendengarkan kisah Lois, saya bertanya kepada mereka berdua: apa yang anda harapkan dari pertemuan ini? Setelah 2 menit dalam diam, Lois menjawab: “bantu saya untuk atasi masalah yang pelik ini.” Karena Michael sejak awal sudah “tak bernyawa”, maka saya batalkan pendekatan family therapy. Untuk pasutri-pasutri sebelumnya yang datang di ruang kerjaku dan meminta bantuan mental health service, pendekatan ini efektif karena kedua pasangan masih “berfungsi normal” (artinya: ada komunikasi interaktif di antara mereka dan ada niat baik dari kedua belah pihak untuk bekerja bersama counselor demi mencari solusi terbaik mengatasi masalah rumah tangga). Sedangkan untuk kasus Michael dan Lois, hanya Lois-lah yang okay (dia tahu ada masalah, sadar bahwa tidak bisa hidup dalam situasi ini dan perlu ada intervensi dan bantuan dari pihak ketiga). Itulah sebabnya saya membatalkan pendekatan family therapy dan akan memilih individual counseling dengan pendekatan CBT untuk menolong client saya. Saya tenang dan sabar mendengarkan cerita Lois yang terbagi dalam enam episode.

Presenting problem
Apa masalahnya? Dari kisah yang panjang itu, saya temukan ada begitu banyak masalah, dan sangat kompleks. Hal ini bisa dimaklumi karena tujuh tahun lamanya client saya berjibaku dengan rentetan masalah yang pelik tak berujung. Belum selesai masalah yang satu, sudah muncul yang lain. Meskipun demikian, jika saya cermati dari perspektif counseling psychology, ada dua kata yang paling penting dan patut mendapat perhatian dari saya.

Dua kata itu adalah depresi dan psikopat. Lois melaporkan, “Saya depresi. Dan kata orang suami saya itu psikopat.” Saya mencatat kedua kata ini karena hemat saya kata-kata tersebut menjadi bola kristal penenun persoalan yang kompleks dalam diri client saya. Saya mencoba untuk mengklarifikasi statement depresi yang keluar dari mulut Lois dengan meminta dia, “tell me about your typical day!”. Lois lantas menuturkan secara detail bahwa dalam sebulan terakhir ini dia mengalami gangguan seperti: rasa sedih yang berkepanjangan, tak bisa tidur dengan nyenyak, berkurang nafsu makan, dan berat badannya menurun drastis. 

Dia juga melaporkan bahwa lebih dari sebulan terakhir ini tak ada gairah dalam dirinya untuk menjalani hidup, tingkat konsentrasinya menurun dan hampir setiap hari dia merasa “feelings of worthlessness or guilt, difficulty concentrating or making decisions”. Yang lebih parah lagi adalah Lois melaporkan bahwa dia beberapa kali “recurrent thought of death or suicidal ideation or suicide plans or attempts.” Meskipun demikian, si client Lois masih bisa masak dan sajikan makanan untuk suami, mencuci dan menyetrika pakaiannya. Sesuatu yang tidak lazim bagi client yang ada dalam kondisi depresi berat.

Diagnosis
Dari Sembilan kriteria Major Depressive Disorder yang tercantum dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5, American Psychiatric Association, 2013), Lois memenuhi 6 dari 9 kriteria. Keenam kriteria itu dilaporkan Lois dalam cerita di atas. Maka, tanpa keraguan, saya sepakat dengan si client; bahwa dia sedang menderita sakit depresi berat (sudah terjadi tindakan bunuh diri; not only suicidal ideation. Ini serius!)

Case Conceptualization

Masalah term kedua psikopat, tidak saya bahas di sini karena perlu penelusuran yang panjang untuk membuktikan kebenaran label tersebut. Ya begitulah, client yang psikopat selalu rumit untuk didekati dan berdiskusi. Ini sudah masuk ke wilayah gangguan kepribadian/personality. Rumitnya hampir seluas misteri “tatapan hampa tanpa kata” yang dipertontonkan Michael di hadapan saya di ruang konseling pagi ini. Oleh karena itu, dalam case conceptualization ini, saya hanya fokus pada masalah depresi yang Lois laporkan dari mulutnya sendiri (sebagaimana tertuang dalam suratnya kepada Michael; juga beberapa kali muncul dalam narasi penulis sinopsis ini).

Menurut DSM-5, karakteristik dari client depresi adalah sebagai berikut. Setiap hari si client mudah merasa capek, merasa sedih (kadang tidak tahu alasannya; sedih tanpa alasan yang jelas) gangguan tidur atau insomnia, gerak-gerik badannya melamban, menurun semangat dan energinya, merasa bersalah dan menilai dirinya tak berarti, sulit berpikir dan berkonsentrasi, tidak mampu mengambil keputusan dalam situasi sulit (manifestasinya jelas: setelah tujuh tahun baru client mengambil keputusan untuk berpisah dari suaminya). Client juga tak punya gairah makan, kehilangan harapan, tidak merasa tertarik pada hal-hal yang menyenangkan (misalnya ngobrol dengan teman2, lakukan hobbi, dll).

Si client nampaknya terjun bebas dalam delusi yang mendalam. Delusi itu nyata dalam anggapan pribadinya bahwa dirinya-lah yang bertanggung jawab atas kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin dari Michael. Aksi harian mempersiapkan makan untuk Michael, mencuci dan menyeterika pakaiannya sebetulnya bukan tindakan dari kesadaran bahw inilah kewajiban saya sebagai isteri, tetapi jelmaan dari delusi tadi. Dan amat jelas di mata pembaca atau pendengar kisah Lois, hal-hal praktis itu (siapkan makanan, dll) sesungguhnya tidak diharapkan dan diperhitungkan oleh Michael. Sedih banget kan? Lebih lanjut, si Lois gemar mempersalahkan diri sendiri (ini termanifestasi dalam litani pertanyaan yang dia ajukan; misalnya “apakah saya salah bahwa cintalah yang melandasi orang hidup bersama sebagai suami istri?”) 

Nah semua situasi negatif ini menggiring si client untuk berpikir bahwa “I am worthless; I am not good enough to be loved by Michael; I am bound to be alone; I am bound to be rejected; I am bound to be abandoned and I don’t deserve to live”). Inilah yang dalam istilah counseling psychology disebut core beliefs. Karena percaya bahwa dia diabaikan oleh Michael, percaya bahwa dia tidak layak mendapat cinta dari Michael, percaya bahwa dirinya ditolak terus menerus oleh Michael, dan percaya bahwa dia tidak lagi layak untuk hidup; maka keputusannya adalah bunuh diri. Bunuh diri dipilih sebagai jalan paling tepat untuk menyelesaikan masalah yang kompleks dalam biduk rumah tangga mereka. Tragis kan!? Masih beruntung bahwa ada Wind, saudaranya, yang datang untuk menyelamatkan nyawa si hopeless Lois ini sehingga kisah kedua sejoli itu masih berlanjut ke episode berikut, yang bukan lagi menjadi bagian dari case conceptualization ini.

Para psikolog yang sudah lama melanglang buana di dunia counseling and psychotherapy sepakat bahwa Cognitive Behavior Therapy (CBT) adalah model yang tepat untuk menjawab harapan client keluar dari masalah depresi yang akut ini (Reichenberg & Seligman, 2016). Asumsi dasar CBT adalah sasar saja cara berpikir negatif (negative core beliefs) si Lois sebagaimana tercantum di atas dan rubah ke ranah yang lebih realistic (tidak hanya positive thoughts), maka si client perlahan-lahan akan pulih. Bahwa dengan mengubah negative core beliefs si Lois, behavior nya pun otomatis ikut berubah kepada perubahan yang diharapkan client dan counselor (Beck, 2011). Cara berpikir yang baru dan sehat menuntun pada cara bersikap dan bertingkahlaku yang sehat pula.

Treatment Plan
Saya menawarkan case conceptualization itu kepada Lois. Setelah mendengarkan penjelasan saya, dia menyatakan setuju dengan konseptualisasi saya ini. Dia menatap saya dengan harapan baru. Dia berharap ada perubahan berarti setelah dia menjalani sesi counseling bersama saya. Saya katakan kepadanya, sekurang-kurangnya kamu perlu dua sesi konseling bersama dengan saya untuk menggapai perubahan yang kamu harapkan. Dan Lois setuju.

Sesi 1

Maladaptive Thoughts
Process
Intervention

- I am worthless;

- I am not good enough to be loved by Michael;

- I am bound to be alone;

- I am bound to be rejected;

- I am bound to be abandoned

- I don’t deserve to live
-   Mood check
-   Homework

CBT
-   Psychoeducation
-   Cognitive restructuring
-   Pros and cons



Sesi 2
Maladaptive behavior
Process
Intervention
-   Lack of sleep
-   Lack of interest in doing pleasure activities.
-   Mood check

CBT
-   Deep breathing exercise
-   Mindfulness



Status at termination

Setelah sesi kedua, client melaporkan bahwa dia sudah bisa tidur nyenyak, enjoy ranjang bersama suaminya dan bisa menerima suaminya sebagaimana adanya. Dia menemukan bahwa suaminya mencintai dirinya dan sudah berhasil menghapus negative core beliefs yang merusak dirinya dalam relasi dengan suami. Si client pun mengundang saya untuk merayakan changing thoughts and life style itu bersama suaminya Michael di sebuah restoran mewah di Mall of Asia. Dalam kesempatan ini Michael sudah bisa bercerita. Dia mengatakan kepada saya bahwa restoran tersebut adalah milik mereka. Dia menunjuk salah satu apartement di samping restoran itu dan berbisik kepada saya, “di tempat itu sebulan yang lalu, Lois hendak mengakhiri hidupnya”.

Catatan

Sebetulnya untuk client dengan kategori depresi berat, dua sesi saja tidak cukup; paling kurang 10-12 sesi. Bagan ilustrasi pada treatment plan di atas hanya dimaksudkan untuk membantu pembaca awam tentang prosedur dan tahapan penanganan yang umumnya seorang counselor laksanakan berhadapan dengan case seperti yang dilaporkan Lois.

References


Beck, J.S. (2011). Cognitive Behavior Therapy: Basics and Beyond, 2nd ed. New York: Guilford Press.

Reichenberg, L.W., & Seligman L. (2016). Selecting Effective Treatments: A Comprehensive, Systematic Guide to Treating Mental Disorders. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Comments

ARTIKEL TERPOPULER

AKU MENCINTAIMU NAMUN AKU BERSALAH (6)

"Video Kontroversial: Pelecehan atau Simbol Toleransi?"

Arnold Janssen’s Intercultural Narration